Sandbox is a multipurpose HTML5 template with various layouts which will be a great solution for your business.

Contact Info

Moonshine St. 14/05
Light City, London
info@email.com
+00 (123) 456 78 90

Follow Us

#Cinta

Here you can find the latest #Cinta articles.

Dikit-Dikit Kok Mental Illness
Read More

Dikit-Dikit Kok Mental Illness

Aku yang jumawa terheran-heran kenapa banyak sekali teman yang sangat mudah untuk berkata, "kayaknya gua kena mental illness nih." Tunggu deh, memangnya itu satu pencapaian. memangnya manusia selemah itu sampai mentalnya mudah sekali sakit. Pertanyaan itu terus mengisi kepalaku yang besar.

Sampai tiba waktunya aku mendengar kisah teman adikku yang terbaring sakit, tak mampu melakukan apa pun bahkan untuk sekedar bicara. Ada dokter yang menyarankan si anak dibawa ke psikiater, karena mungkin ada beban mental yang tak mampu dia ucapkan. Saat mendengar itu aku hanya mampu diam kepalaku yang besar seakan menyempit menghimpit kesombonganku. Tanyaku tidak berhenti sampai di sana, aku pun bertanya hal apa yang sekiranya bisa membuat dia sampai begitu.

Lalu adikku pun menjawab, "Ya kalau kata gue sih ini karena ekpektasi ya, bisa jadi ekspektasinya lulus SMK bisa kerja dan bahagiain orang tuanya, tapi kan lu tahu sendiri lulusan SMK bisa apa sih. Sedangkan dia juga kaya dikejar-kejar circle di media sosialnya yang upload ini dan itu sedangkan dia ngerasa hidupnya gak pantas buat di upload."

Seketika aku berpikir bagaimana kalau postinganku tanpa sengaja membuat mental orang lain tersakiti membuat merasa hidup mereka di diskriminasi. Atau barangkali pemikiranku yang bilang "Dikit-dikit kok mental illness" bukannya memotivasi malah memprovokasi.

Sahabat aku pernah mendengar ini, "jangan bandingkan dirimu dengan Sultan Muhammad Al Fatih yang di umur 21 tahun sudah menaklukan konstantinopel, karena setiap kita punya konstantinopelnya masing-masing cukup semangatnya yang kita tiru." Mungkin bagi mereka yang sakit pun sama, ada luka yang bagimu hanya perih tapi mereka harus menahannya sambil lirih. Dan barangakali bagi kita hanya secuil luka tapi bagi beberapa orang itu sekolam duka.

Semua manusia berbeda termasuk kuatnya. Dan ternyata tidak sulit menjadi manusia yang baik, cukup berhenti bertanya "kenapa" kepada mereka yang kita tidak tahu "siapa." Saudaraku apa yang ditampilkan orang lain dalam sebuah media sosialnya adalah sebuah hasil buatan bukan sebuah kenyataan. Semoga kita semua kembali bisa menempatkan asa untuk meraih cita di dunia nyata bukan sekedar mengejar like di dunia maya.

Semua Tiba Saat Kita Sudah Butuh
Read More

Semua Tiba Saat Kita Sudah Butuh

Saat binar jingga di sore hari tak lagi terlihat, berbaring di ranjang dengan telepon genggam di tangan pun menjadi pilihan. Dan pelan-pelan mulai menjelajah sosial media. Dimulai dari status whatsapp, lanjut story instagram, sampai berulang kali scroll feed di media sosial rasa-rasanya kegiatan yang tak akan pernah berkhianat untuk menghilangkan penat sepulang bekerja. Dan itu pun menjadi salah satu opsi yang aku lakukan saat pekerjaan berkunjung tak ada henti-hentinya. 

Tiba-tiba gerakan tanganku berhenti di salah satu postingan seorang teman. Dia terlihat memposting salah satu buku karyanya yang berhasil untuk dipublikasikan. Tangan yang tadinya penuh semangat mencari, mata yang sibuk membaca entah kenapa jadi lesu dan turut mendukung hati untuk mengatakan, "waktuku kapan ya." Seakan rasa iri mendarat begitu tepat di bagian yang membuat hati merasa rendah diri. 

Tak lama berselang aku membaca pesan seorang mentor yang bunyinya kurang lebih tertulis bahwa, belajar dari orang lain memang baik, tetapi kita harus paham bahwa kita bukan dia. Jleb, lesu yang hadir tadi tergantikan dengan istighfar yang berulang-ulang kali aku ucapkan. Selepas istighfar aku ucapkan, aku pun membalas postingan temanku dengan penuh rasa turut bahagia dan memberinya selamat juga apresiasi. Dia membalasnya dengan ucapan terima kasih yang begitu takzim dan tak lupa dia memintaku untuk membantu promosi bukunya dalam media sosialku. 

Mendengar permintaannya tak membuatku pikir panjang untuk menjawab, "Iya libatkan aku ya supaya aku juga dapat pahala." Dia pun langsung membalasnya dengan pernyataan yang tak terpikir olehku sebelumnya, "Gimana sih caranya punya niat selurus itu, jujur aku bahagia banget buku ini terbit ya karena untuk aku cari rezeki." 

Ya Allah mendengar jawabannya aku menerima satu jawaban begitu romantis dari Allah Yang Maha Besar atas rasa rendah diriku, ternyata dia memang lebih butuh karya itu di banding aku. Mungkin saat kita belum menerima apa-apa yang kita langitkan memanglah hal itu belum kita butuhkan. Saat semuanya menjadi kebutuhan yakinlah Allah pasti kabulkan.

#Pejuang30dwc

#30dwcjilid33

#Day2

Iya Untuk Ambisi, Tidak Untuk Ekspektasi
Read More

Iya Untuk Ambisi, Tidak Untuk Ekspektasi

Saat mimpi mati-matian kita wujudkan namun kenyataan tak pernah ramah untuk kita kendalikan, di saat itulah semangat runtuh, kepala riuh dipenuhi kajian kekecewaan. Tapi katanya hidup ini harus seimbang. Butuh untuk lari yang sesekali diiringi rehat, agar lelah tak meruntuhkan niat, juga butuh banyak cadangan ruang hati yang kita sebut penerimaan. Dorongan untuk mewujudkan apa yang kita impikan dikenal dengan sebutan ambisi, hal itu menjadi syarat utama agar mimpi tak sekedar angan yang diingin. Akan tetapi, ambisi harus dibersamai dengan aksi bukan sibuk berekspektasi.

Kata orang terlalu berambisi itu tidak baik. Tunggu deh, bukankah semua hal yang diiringi kata terlalu itu pasti berlebihan, dan yang berlebihan itu tidak akan baik kan. Kalau kadar ambisi disertai aksi dan do'a dari ilubuk hati insyaAllah ada jalan yang turut menyertai. Yang repot itu kalau kita sudah berekspektasi, bukaknkah sekedar jatuhnya bulu mata saja tak bisa kita atur, bagaimana mungkin kita ingin mengatur jalan hidup kita yang sudah jelas begitu kompleks.

Barangkali, mulai besok kita harus memperbaiki niat merawat ambisi hanya untuk Dia Sang Khaliq yang abadi. Daripada berekspektasi pada makhluk yang pasti mati. Ambisi untukNya mungkin tak selalu berbalas sebuah pencapaian, tetapi bisa jadi sebuah kemudahan dan keberanian menapaki jejak kehidupan. Kalau yang punya kehidupan memberikan izin untuk meringankan langkah, apalagi yang bisa membuat gundah.

#Pejuang30dwc

#30dwcjilid33

#Day3

Perbanyak Bersyukur Bukan Mengukur
Read More

Perbanyak Bersyukur Bukan Mengukur

Aku tahu setiap hal punya ukurannya tidak boleh berlebih kadarnya atau kurang dari seharusnya. Tentunya aku sependapat dengan hal itu, karena adanya ukuran adalah bentuk panduan yang memudahkan. Namun ukuran yang kita terapkan tidak seharusnya kita letakkan pada nikmat dari Tuhan. Seringkali kita mengeluhkan soal pendapatan, sibuk berdialog dengan diri bahwa yang didapat tentu tak akan cukup. Yang dipunya tak dapat memenuhi kebutuhan dapur, anak sekolah, belum lagi undakan arisan yang tak berkesudahan. Selalu seperti itu kita sibuk mengukur. 

Kalau bicara soal rezeki bukankah Allah SWT sudah memberimu mata untuk melihat dengan cuma-cuma, juga kaki tangan yang sempurna. Pernahkah kita bertanya, "Aku ini saat pertama dilahirkan belum mampu melakukan kebaikan apa-apa Ya Allah kenapa Engkau sudah beri aku kesempurnaan di saat aku belum tahu mampu menyempurnakan iman atau tidak terdahapMu." Kenapa kita sibuk mengukur jumlah sesuatu yang bisa kita usahakan nanti, agar selalu bertambah jumlahnya. Tapi anugerah fisik ini ? kita bisa apa kalau Dia tidak dengan kelembutannNya menitipkan pada kita. 

Dalam firmanNya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. an-Nahl [16]: 18). Iya benar kita tak seharusnya pandai mengukur, tapi panda-pandailah bersyukur. Karena nikmat Allah selalu tak terhitung jumlahnya namun senantiasa berlimpah bagi hambaNya.

Sebelum mengukur nikmat Allah ada baiknya kita mengukur kadar ibadah kita padaNya, saat jauh jaraknya dari Dia Yang Maha Kuasa bagaimana Dia bisa memberi lebih untuk kita. 

#Pejuang30dwc

#30dwc

#30dwcjilid33

#Day10

Kini Pilihannya Hanya Pada Sabar
Read More

Kini Pilihannya Hanya Pada Sabar

Ada kalanya aku memilih menangis sebagai aliran kesedihanku.

Ada kalanya sisi baikku memilih untuk sujud dan berdo'a.

Ada kalanya sisi burukku tentu mengeluhkannya.

Apapun yang aku lakukan, semua aku nisbatkan pada "aku kan hanya manusia." Aku lupa bahwa yang sedih, dan terluka di bumi ini bukan hanya aku. Aku lupa bahwa dunia ini memang diisi dengan ujian di setiap selanya.

Aku tahu kita ada pada ujian yang berbeda, aku tahu keadaan, pengalaman dan rasa kuat kita berbeda. Tapi yang perlu kita ingat, ujianku bukan kamu yang buat. Dan ujianmu bukan aku yang buat. Jadi jangan takut lagi ya, karena ujian kita mungkin sudah lulus uji klinis jauh sebelum aku dan kamu ada di dunia ini. Bukankah kita sepakat, Sang Pembuat garis hidup kita dialah Yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, dan Maha penyayang ?

Dari aku yang paling bersyukur .