Sandbox is a multipurpose HTML5 template with various layouts which will be a great solution for your business.

Contact Info

Moonshine St. 14/05
Light City, London
info@email.com
+00 (123) 456 78 90

Follow Us

Alhambra Blog

Selamat datang, dan berkeliling didalam kastil.

Menunggu Pagi Harus Lelah Menerima Malam
Read More

Menunggu Pagi Harus Lelah Menerima Malam

Dunia seakan tak menawarkan solusi saat kita sendiri tak paham memaknai sebuah kondisi. Seisi dunia bilang jangan marah, karena setiap masalah pasti berbuah hikmah. Lalu isi hati seolah menertawakan mereka, mana mungkin ada hikmah saat yang di ingin tak lagi dalam genggaman. Jangankan dalam genggaman bahkan mungkin mereka sudah hilang dari pandangan. ah rasa-rasanya mau marah saja, barangkali ini yang kita rasakan, saat kesulitan rasanya mencekik lini kehidupan.

Tunggu, seandainya saja kita bisa lebih peka terhadap setiap proses di dunia ini bahwa tak akan ada kupu-kupu kalau dia tak pernah melewati sepinya saat menjadi kepompong. Tak akan berjalan bumi ini tanpa adanya ibu yang melewati setengah ajalnya untuk melahirkan generasi-generasi khalifah terbaik. Dan tak akan pernah ada pagi tanpa gelapnya malam, saat malam sudah semakin larut dan terus larut, kian menyepi, di saat itu jugalah kita tahu bahwa sebentar lagi sudah pagi.

Bukankah itu juga berlaku untuk segala kesulitan-kesulitan kita ?. Setiap kesulitan yang kian hari makin rumit, makin sulit dan sepertinya sudah bukan lagi kadar kita untuk memikirkan dan menyelesaikan. Mungkin Allah tengah mengambil kendali untuk hidup kita. Seolah dia tengah berkata, "Wahai hambaku cukuplah engkau bersabar atas takdirmu, karena solusi atas masalahmu adalah urusanKu." Kalau kata mba Dewi nur aisyah dalam bukunya semoga iman kita alias rasa percaya kita terhadap Allah melebihi rasa suka dan tidak suka kita terhadap sesuatu.

Sudah sering kita membaca kutipan bahwa badai pasti berlalu, dan kita memahaminya dengan baik. Tapi jangan lupa kalau badai bisa berlalu pelangi pun tak akan pernah ada untuk waktu yang lama bukan ?.

#Pejuang30dwc

#30dwcjilid33

#Day4

Iya Untuk Ambisi, Tidak Untuk Ekspektasi
Read More

Iya Untuk Ambisi, Tidak Untuk Ekspektasi

Saat mimpi mati-matian kita wujudkan namun kenyataan tak pernah ramah untuk kita kendalikan, di saat itulah semangat runtuh, kepala riuh dipenuhi kajian kekecewaan. Tapi katanya hidup ini harus seimbang. Butuh untuk lari yang sesekali diiringi rehat, agar lelah tak meruntuhkan niat, juga butuh banyak cadangan ruang hati yang kita sebut penerimaan. Dorongan untuk mewujudkan apa yang kita impikan dikenal dengan sebutan ambisi, hal itu menjadi syarat utama agar mimpi tak sekedar angan yang diingin. Akan tetapi, ambisi harus dibersamai dengan aksi bukan sibuk berekspektasi.

Kata orang terlalu berambisi itu tidak baik. Tunggu deh, bukankah semua hal yang diiringi kata terlalu itu pasti berlebihan, dan yang berlebihan itu tidak akan baik kan. Kalau kadar ambisi disertai aksi dan do'a dari ilubuk hati insyaAllah ada jalan yang turut menyertai. Yang repot itu kalau kita sudah berekspektasi, bukaknkah sekedar jatuhnya bulu mata saja tak bisa kita atur, bagaimana mungkin kita ingin mengatur jalan hidup kita yang sudah jelas begitu kompleks.

Barangkali, mulai besok kita harus memperbaiki niat merawat ambisi hanya untuk Dia Sang Khaliq yang abadi. Daripada berekspektasi pada makhluk yang pasti mati. Ambisi untukNya mungkin tak selalu berbalas sebuah pencapaian, tetapi bisa jadi sebuah kemudahan dan keberanian menapaki jejak kehidupan. Kalau yang punya kehidupan memberikan izin untuk meringankan langkah, apalagi yang bisa membuat gundah.

#Pejuang30dwc

#30dwcjilid33

#Day3

Semua Tiba Saat Kita Sudah Butuh
Read More

Semua Tiba Saat Kita Sudah Butuh

Saat binar jingga di sore hari tak lagi terlihat, berbaring di ranjang dengan telepon genggam di tangan pun menjadi pilihan. Dan pelan-pelan mulai menjelajah sosial media. Dimulai dari status whatsapp, lanjut story instagram, sampai berulang kali scroll feed di media sosial rasa-rasanya kegiatan yang tak akan pernah berkhianat untuk menghilangkan penat sepulang bekerja. Dan itu pun menjadi salah satu opsi yang aku lakukan saat pekerjaan berkunjung tak ada henti-hentinya. 

Tiba-tiba gerakan tanganku berhenti di salah satu postingan seorang teman. Dia terlihat memposting salah satu buku karyanya yang berhasil untuk dipublikasikan. Tangan yang tadinya penuh semangat mencari, mata yang sibuk membaca entah kenapa jadi lesu dan turut mendukung hati untuk mengatakan, "waktuku kapan ya." Seakan rasa iri mendarat begitu tepat di bagian yang membuat hati merasa rendah diri. 

Tak lama berselang aku membaca pesan seorang mentor yang bunyinya kurang lebih tertulis bahwa, belajar dari orang lain memang baik, tetapi kita harus paham bahwa kita bukan dia. Jleb, lesu yang hadir tadi tergantikan dengan istighfar yang berulang-ulang kali aku ucapkan. Selepas istighfar aku ucapkan, aku pun membalas postingan temanku dengan penuh rasa turut bahagia dan memberinya selamat juga apresiasi. Dia membalasnya dengan ucapan terima kasih yang begitu takzim dan tak lupa dia memintaku untuk membantu promosi bukunya dalam media sosialku. 

Mendengar permintaannya tak membuatku pikir panjang untuk menjawab, "Iya libatkan aku ya supaya aku juga dapat pahala." Dia pun langsung membalasnya dengan pernyataan yang tak terpikir olehku sebelumnya, "Gimana sih caranya punya niat selurus itu, jujur aku bahagia banget buku ini terbit ya karena untuk aku cari rezeki." 

Ya Allah mendengar jawabannya aku menerima satu jawaban begitu romantis dari Allah Yang Maha Besar atas rasa rendah diriku, ternyata dia memang lebih butuh karya itu di banding aku. Mungkin saat kita belum menerima apa-apa yang kita langitkan memanglah hal itu belum kita butuhkan. Saat semuanya menjadi kebutuhan yakinlah Allah pasti kabulkan.

#Pejuang30dwc

#30dwcjilid33

#Day2

Beruntungnya Aku, Menjadi Tawanan Kebaikan
Read More

Beruntungnya Aku, Menjadi Tawanan Kebaikan

Setiap sudut ruangan seakan penuh, setiap sudut pikiran seakan tak lagi cukup untuk memikirkan hal lain, lagi dan lagi kepala diketuk masalah yang belum tahu kemana dan apa jalan keluarnya. Apa kalian pernah memiliki masalah seperti itu ?.

Saat waktu seperti itu hadir aktifitasku hanya sebatas badan tanpa kepala, khusyuk pun tak lagi mampu hadir dalam shalatku. Aku tahu aku harus segera memikirkan solusi untuk kehidupan ekonomiku, karena untuk saat ini itulah masalahku. Kemana aku harus mencari pinjaman malu rasanya meminjam kepada teman atau saudara yang mungkin saat ini pun sedang kesulitan. Sampai akhirnya jawaban tanpa pemikiran panjang pun datang di kepalaku, “Gimana kalau aku buat kartu kredit aja dulu, kan bisa tuh pinjam uang tunai.  Jadi gk usah pinjam orang dan orang pun gak akan ada yang tahu aku punya hutang,” Begitu yakin aku menjawabnya.

      Bergegaslah aku mengambil telepon genggamku mencari tahu tentang bagaimana cara membuat kartu kredit, bagaimana pembayarannya, dan bagaimana dengan bunganya. Dari sebuah web yang aku baca kartu kredit bisa di daftarkan online, masuklah aku ke halamannya. Lalu muncul lah suguhan penjelasan platform kartu yang tersedia saat membacanya dahiku mulai mengerut, kebingungan memenuhi kepalaku bisa-bisanya orang bergaji 3 juta dalam sebulan diberikan platform kartu kredit sebesar 20 juta per bulannya. Tapi aku abaikan semua itu, aku pun masuk di halaman web sebagai orang yang ingin mengajukan kepemilikan kartu kredit.

         Di halaman tersebut aku harus mengisi nomor kartu debetku, aku pun mengisinya. Tapi jariku terhenti karena tiba-tiba aku disapa beberapa pertanyaan yang datangnya dari aku, “Tunggu dulu memangnya kamu sanggup menanggung bunganya.” Aku pun menjawab tanpa alasan “Pasti sanggup kok.” Pertanyaan satu terjawab muncul pertanyaan lainnya “Tunggu deh memangnya apa salahnya mencoba minta bantuan ke orang lain.” Dengan yakin aku menjawab “Engga deh, malu aku.” Sampai akhirnya Allah hadirkan pertanyaan klimaks melalui hati kecil ini, “Sebenarnya untuk apa uang yang kamu pinjam, bukannya untuk melanjutkan hidup untuk Allah bukan untuk terlihat tangguh di hadapan manusia, kenapa kamu malu kepada manusia tapi tidak malu menerima uang yang tidak Allah halalkan untukmu.”

         Terdiam aku mendengar pertanyaan itu, aku pun keluar dari halaman web tersebut sambil terus beristighfar. Bisa-bisanya aku ingin hidup baik di mata manusia tapi tidak mengusahakan yang terbaik untuk Allah, padahal kehidupanku jelas-jelas karena kuasaNya. Akhirnya aku hubungi seorang teman yang aku yakini saat itu dia adalah perantara Allah yang bisa membantuku, aku lepaskan segala egoku aku beberkan segala kekuranganku bukan untuk dikasihani  tapi yang aku yakini kebaikan selalu membutuhkan kejujuran. Dan hebatnya Allah yang menjadikan dia perantaraNya tanpa waktu lama, tanpa mengajukan banyak pertanyaan dia membalas pesanku yang tertulis “Mau di kirim kemana uangnya.” MasyaAllah malunya aku meragukan solusi Allah dan merasa sanggup hidup dengan ilmu yang tak seberapa ini.

           Dari episode kehidupanku kali ini aku tahu bahwa menjadi tawanan kebaikan adalah sebuah keuntungan, dipenjarakan dalam kebaikan adalah sebuah ketenangan. Barangkali kehidupan dengan sedikitnya kemewahan adalah cara terbaik meraih keberkahan. Semoga Allah senantiasa menjadikan aku, kamu dan kita tawanan dalam kebaikan dibuat terbatas dalam sebuah keburukan.

Betapa sayangnya Allah pada hambaNya, Dia munculkan ribuan keraguan dan ketakutan ketika manusia di hampiri godaan untuk melakukan keburukan.

Dikit-Dikit Kok Mental Illness
Read More

Dikit-Dikit Kok Mental Illness

Aku yang jumawa terheran-heran kenapa banyak sekali teman yang sangat mudah untuk berkata, "kayaknya gua kena mental illness nih." Tunggu deh, memangnya itu satu pencapaian. memangnya manusia selemah itu sampai mentalnya mudah sekali sakit. Pertanyaan itu terus mengisi kepalaku yang besar.

Sampai tiba waktunya aku mendengar kisah teman adikku yang terbaring sakit, tak mampu melakukan apa pun bahkan untuk sekedar bicara. Ada dokter yang menyarankan si anak dibawa ke psikiater, karena mungkin ada beban mental yang tak mampu dia ucapkan. Saat mendengar itu aku hanya mampu diam kepalaku yang besar seakan menyempit menghimpit kesombonganku. Tanyaku tidak berhenti sampai di sana, aku pun bertanya hal apa yang sekiranya bisa membuat dia sampai begitu.

Lalu adikku pun menjawab, "Ya kalau kata gue sih ini karena ekpektasi ya, bisa jadi ekspektasinya lulus SMK bisa kerja dan bahagiain orang tuanya, tapi kan lu tahu sendiri lulusan SMK bisa apa sih. Sedangkan dia juga kaya dikejar-kejar circle di media sosialnya yang upload ini dan itu sedangkan dia ngerasa hidupnya gak pantas buat di upload."

Seketika aku berpikir bagaimana kalau postinganku tanpa sengaja membuat mental orang lain tersakiti membuat merasa hidup mereka di diskriminasi. Atau barangkali pemikiranku yang bilang "Dikit-dikit kok mental illness" bukannya memotivasi malah memprovokasi.

Sahabat aku pernah mendengar ini, "jangan bandingkan dirimu dengan Sultan Muhammad Al Fatih yang di umur 21 tahun sudah menaklukan konstantinopel, karena setiap kita punya konstantinopelnya masing-masing cukup semangatnya yang kita tiru." Mungkin bagi mereka yang sakit pun sama, ada luka yang bagimu hanya perih tapi mereka harus menahannya sambil lirih. Dan barangakali bagi kita hanya secuil luka tapi bagi beberapa orang itu sekolam duka.

Semua manusia berbeda termasuk kuatnya. Dan ternyata tidak sulit menjadi manusia yang baik, cukup berhenti bertanya "kenapa" kepada mereka yang kita tidak tahu "siapa." Saudaraku apa yang ditampilkan orang lain dalam sebuah media sosialnya adalah sebuah hasil buatan bukan sebuah kenyataan. Semoga kita semua kembali bisa menempatkan asa untuk meraih cita di dunia nyata bukan sekedar mengejar like di dunia maya.