Hidup tak akan lepas dari komentar dan pandangan orang, karena memang semua manusia hidup dan berpijak di bumi yang sama. Tidak mungkin kita memanipulasi Tuhan untuk mendapatkan tempat berbeda selagi hidup masih berlangsung dalam bumiNya. Pandangan sebelah mata orang lain, penilaian-penilaian salah dari orang lain tentang kita mungkin tak merubah nilai kita di mata Tuhan. Tapi, tentu tidak ada manusia yang dengan mudah mampu untuk mengabaikannya. 

Mendengar kata yang lebih tajam dari sebilah pisau, mungkin tidak akan membuat diri ini berlumur luka tapi jelas itu menghancurkan tameng diri. Ibarat diri ini ada dalam sebuah kapal, kata-kata menyakitkan orang lain bisa jadi menjadi lubang-lubang kecil kapal yang lama-lama menenggelamkan. Kita dibuat hanyut di kapal kita sendiri dan tenggelam dengan air mata kita sendiri, sebab begitu menyakitkannya kebencian dari seorang makhluk. 

Tapi daripada kita menenggelamkan diri dalam kebencian dan rasa tidak terima orang lain, lebih baik kita terbenamkan saja benci dan kecewanya. Benci yang kita benamkan mungkin pelan-pelan menghadirkan gelapnya malam. Yang makin larut kian gelap, makin malam kian hening, yang makin malam makin menyeramkan. Namun setelah semua gelap, hening, dan segala seramnya malam kita lewati, bukankah fajar secara pasti menyingsingkan malam. 

Begitulah kebencian yang kita usahakan untuk terbenam, mungkin awalnya dada terasa sesak, kesal kian membuncah, air mata diam-diam tak mampu lagi kita bendung. Tapi, satu hal yang pasti setelah benci mampu kita benamkan kita pasti terbebas dari banyak beban. Terbebas dari beban ingin membalas, terbebas dari beban bersedih, dan ketika kita mampu membenamkan benci dengan rasa ikhlas. Mungkin di sanalah letak keindahannya karena hidup kita sudah membenamkan kesedihan dan luka, lalu biar Tuhan yang menerbitkan bahagia. 

Bukankah tidak akan ada matahari terbit, tanpa proses terbenam lebih dulu ?

#Pejuang30dwc

#30dwc

#30dwcjilid33

#Day29