Terkadang dunia ini terlihat tidak adil, menurut beberapa akal manusia dan mungkin salah satunya aku dan kamu. Berapa kali gagal yang kita terima sedangkan yang di tampilkan dunia keberhasilan-keberhasilan yang juga seorang manusia.

Kalau kita bisa mundur untuk hidup di masing-masing masa lalu kita, ingatkah kamu kepada dirimu yang bangun pagi dengan penuh semangat. Berangkat menuntut ilmu dengan senyum dan begitu bahagia saat ada yang bertanya entah teman atau guru yang berkata, "Cita-cita kamu itu jadi apa sih." Wah warna warni jawaban kita saat itu seolah dunia begitu mudah kita bentuk sesuai akal yang kita inginkan. Saat itu ada yang ingin menjadi dokter, guru, polisi, tentara, pengacara, astronot dan begitu banyak lagi impian indah yang terdengar saat kita duduk di dalam sebuah ruang yang kita sebut kelas.

Hari demi hari berlalu aku dan kamu bertumbuh, dunia mulai tak sebaik dulu. Dulu kita kira menjadi dokter itu mudah tapi ternyata biayanya tak bisa dianggap mudah, dulu kita kira menjadi guru menyenangkan tapi ternyata guru honorer begitu menyedihkan. Setiap hari seolah kita hanya di siksa kenyataan.

Untuk sebagian orang mimpi membuatnya berlari kencang mantap menjalani kehidupan. Tapi untuk sebagian lagi mimpi justru membuatnya seolah terjungkal dan berdarah dalam meneruskan kehidupan.

"Ya Allah apa salahku" mungkin itu gerutu kita saat mimpi tak pernah sampai di garis finishnya.

Tapi di saat-saat itulah aku kembali memahami status hamba yang melekat pada diri. Untuk menahan bulu mata agar tak jatuh saja kita mungkin tak akan mampu. Apalagi mengatur skenario kehidupan.

Alhamdulillah Allah izinkan saya mendengar cerita ini dalam sebuah kajian.

Ada seorang dokter yang mengabarkan kepada sang pasien bahwa luka tetanus yang terdapat di kakinya bisa menyebar, maka dari itu kaki sang pasien harus di amputasi. Saat mendengarnya sang pasien menolak dengan rasa sedih yang menyelimuti diri.

Baik, sekarang mari kita lihat ini dari sudut pandang sang dokter bahwa mengamputasi salah satu kaki pasien adalah pilihan terbaiknya, karena jika dibiarkan luka itu menyebar bahkan berakhir membunuh. Sang dokter bukan ingin memberi luka pada pasien tapi dia berusaha mempertahankan hidup pasien tersebut.

Tapi bagaimana hal ini di mata pasien yang tidak mengerti. Kakinya diambil satu, dia dibuat cacat selamanya.

Barangkali begitulah takdir Allah untuk kita hambanya. Apa yang Allah ambil atau apapun yang belum Allah berikan itu semua bukan bentuk menghinakan. Tapi InsyaAllah ini adalah skenario terbaiknya untuk kita semua yang merasa sebagai hambaNya.